Bitcoin: Perjalanan Pencetus Tren Mata Uang Kripto dari Masa ke Masa
Bitcoin: Perjalanan Pencetus Tren Mata Uang Kripto dari Masa ke Masa
Perjalanan Bitcoin menjadi mata uang digital yang paling populer sekaligus paling bernilai tidak berlangsung secara instan
Pasar kripto mencatatkan rekor buruk di tahun 2022. Tidak terkecuali Bitcoin, yang nilainya terus anjlok sepanjang tahun. Terlepas dari itu, Bitcoin sejauh ini masih merupakan mata uang digital yang paling populer sekaligus paling bernilai di dunia, dan perjalanannya sampai ke titik tersebut tidak berlangsung secara instan.
Di awal tahun 2023 ini, Bitcoin resmi memasuki usianya yang ke-14. Sepanjang eksistensinya, Bitcoin telah melewati berbagai fase pertumbuhan, dan di artikel ini, kita akan membahas sejarah Bitcoin sejak awal ia diciptakan hingga menjadi salah satu aset digital yang paling dominan.
Sejarah awal mula lahirnya Bitcoin (2008-2009)
Jauh sebelum Bitcoin lahir, eksperimentasi mata uang digital sebenarnya sudah eksis dalam berbagai wujud, sebut saja eCash, E-gold, Hashcash, B-money, dan Bitgold. Semua eksperimen ini memang tidak ada yang berhasil menggaet eksposur, akan tetapi menurut Cointelegraph, masing-masing punya pengaruh signifikan terhadap penciptaan Bitcoin.
Ya, Bitcoin sejatinya merupakan penyempurnaan dari berbagai eksperimentasi mata uang digital yang sudah ada. Satoshi Nakamoto, pencipta Bitcoin yang sampai hari ini masih belum diketahui identitas aslinya, sempat menyebutkan bahwa Bitcoin merupakan implementasi dari proposal B-money dan Bitgold yang populer di komunitas kriptografi.
Proposal Bitcoin sendiri pertama kali dipublikasikan oleh Satoshi pada 31 Oktober 2008 ke sebuah milis kriptografi. Pada proposalnya, Satoshi mendeskripsikan Bitcoin sebagai sebuah "sistem pembayaran elektronik yang berasaskan bukti kriptografi ketimbang kepercayaan, yang memungkinkan dua pihak untuk bertransaksi secara langsung tanpa harus melibatkan pihak ketiga."
Untuk memvalidasi transaksi, Bitcoin mengandalkan mekanisme yang bernama proof-of-work — sendirinya merupakan hasil penyempurnaan dari mekanisme yang diterapkan oleh Hashcash. Proposal Bitcoin mendapatkan sambutan baik di kalangan kriptografer, apalagi mengingat statusnya sebagai sebuah proyek open-source.
Tanggal lahir resmi Bitcoin adalah 3 Januari 2009, tepatnya ketika blok pertama di jaringan blockchain Bitcoin berhasil ditambang oleh Satoshi. Kemudian pada tanggal 12 Januari 2009, transaksi perdana Bitcoin berlangsung, persisnya ketika Satoshi mengirimkan 10 BTC ke kawan kriptografernya, Hal Finney.
"Bitcoin Pizza Day" (2010)
3 Januari boleh menjadi hari lahirnya Bitcoin, akan tetapi tanggal yang lebih penting bagi komunitas Bitcoin justru adalah 22 Mei, yang setiap tahunnya diperingati sebagai "Bitcoin Pizza Day". Tentu saja ada momen penting yang terjadi di balik cerita tersebut, yakni pertama kalinya Bitcoin digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual-beli barang di dunia nyata.
Pada 18 Mei 2010, seorang kriptografer asal Florida, Amerika Serikat bernama Laszlo Hanyecz menyampaikan keinginannya untuk membeli pizza menggunakan Bitcoin di forum resmi Bitcoin. Laszlo bersedia membayar 10.000 BTC untuk dua loyang pizza, dan pada 22 Mei 2010, ia pun mengunggah foto yang mengonfirmasi bahwa transaksinya telah berhasil. Ya, Bitcoin kala itu memang masih serendah itu nilainya.
Terlepas dari itu, transaksi tersebut merupakan bukti nyata bahwa Bitcoin bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Efektif atau tidaknya itu perkara lain, apalagi jika melihat fluktuasi nilai tukar Bitcoin yang bisa sampai sejauh itu. Dengan suplai maksimum Bitcoin hanya 21 juta, banyak orang yang mungkin lebih memilih untuk memperlakukannya sebagai investasi jangka panjang ketimbang sebagai alat pembayaran.
Menghilangnya Satoshi dan kontroversi Silk Road (2011-2013)
Lompat ke 26 April 2011, Satoshi resmi meninggalkan proyek pengembangan Bitcoin dan menyerahkan tongkat estafetnya ke Gavin Andresen dan komunitas open-source secara luas. Alasan kemunduran Satoshi memang tidak pernah diungkap, akan tetapi yang pasti langkah ini membuat narasi Bitcoin sebagai proyek terdesentralisasi menjadi semakin kuat.
Dalam dua tahun pertamanya, Bitcoin kesulitan meyakinkan dunia akan fungsinya sebagai alat pembayaran yang sah. Sialnya, Bitcoin justru digunakan sebagai alat pembayaran oleh Silk Road, situs black market kontroversial yang mulai beroperasi pada Februari 2011.
Pencipta Silk Road, Ross Ulbricht, membayangkan situsnya sebagai tempat di mana orang-orang bisa memperdagangkan apa pun tanpa terhambat oleh regulasi setempat. Tidak perlu waktu lama bagi para penggunanya untuk menyalahgunakan visi tersebut dan saling memperdagangkan narkoba dan barang-barang ilegal lainnya.
Silk Road pada akhirnya ditutup di bulan Oktober 2013, dan penciptanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Selama sekitar 30 bulan Silk Road beroperasi, kabarnya ada sekitar 9,9 juta Bitcoin yang bersirkulasi di situs tersebut.
Bangkrutnya Mt. Gox dan mulai diterimanya Bitcoin (2014-2016)
2014 menjadi saksi atas bangkrutnya salah satu bursa kripto terbesar saat itu, Magic: The Gathering Online eXchange, atau yang lebih dikenal dengan nama Mt. Gox. Pertama kali beroperasi pada Juli 2010, Mt. Gox menjadi pihak yang sangat dominan di ranah perdagangan Bitcoin pada tahun 2013-2014. Kabarnya, sekitar 70% dari total transaksi Bitcoin yang terjadi pada saat itu berasal dari Mt. Gox.
Namun pada bulan Februari 2014, Mt. Gox secara tiba-tiba menghentikan fitur penarikan setelah situsnya dibobol peretas. Tercatat ada lebih dari 740 ribu Bitcoin yang berhasil dicuri dari Mt. Gox, yang semuanya merupakan aset milik pengguna. Maret 2014, Mt. Gox resmi dinyatakan bangkrut.
Kabarnya, upaya untuk mengompensasi kerugian para pengguna Mt. Gox masih berlangsung hingga sekarang. Namun satu hal yang pasti, kasus Mt. Gox ini memicu dilema di kalangan pegiat kripto.
Sumber gambar: Bloomberg
Dari sudut pandang pengguna, mereka dihadapkan dengan dua pilihan: memercayakan asetnya ke suatu entitas tersentralisasi macam Mt. Gox dengan segala risikonya, atau mengambil kendali penuh atas aset masing-masing — yang tentu juga memiliki risikonya sendiri. Sementara dari sudut pandang pebisnis, mereka mungkin harus lebih bisa memahami risiko yang ada ketika membangun layanan dan infrastruktur untuk mendukung suatu jenis aset yang dari awalnya bersifat terdesentralisasi.
Memasuki akhir 2014, Bitcoin mulai menunjukkan nilai praktisnya dalam konteks yang lebih luas. Pada 11 Desember 2014, Microsoft mengizinkan pembayaran menggunakan Bitcoin untuk pembelian aplikasi maupun game di sejumlah platformnya. Inisiatif tersebut merupakan hasil kolaborasi Microsoft dengan BitPay, penyedia layanan pembayaran berbasis Bitcoin yang sudah eksis sejak pertengahan 2011.
Lompat ke 22 Oktober 2015, Uni Eropa resmi menetapkan Bitcoin sebagai mata uang yang sah, yang berarti warga Eropa dapat memperdagangkan Bitcoin tanpa harus dipotong pajak. Sebagai informasi, nilai tukar 1 unit Bitcoin kala itu baru sekitar $270.
Di titik ini, banyak orang mulai melihat Bitcoin sebagai alternatif terhadap penyedia layanan pembayaran macam Visa atau Mastercard, namun tidak untuk menggantikan keduanya. Pasalnya, tidak seperti Visa atau Mastercard, jaringan blockchain Bitcoin tidak mampu memproses ribuan transaksi setiap detiknya. Dari situ muncul wacana di komunitas Bitcoin untuk menciptakan scaling solution untuk Bitcoin.
Bitcoin terpecah menjadi dua dan "The Great Crypto Crash" (2017-2019)
Wacana mengenai scaling solution untuk Bitcoin tersebut pada akhirnya memicu perdebatan sengit di komunitas. Yang diperdebatkan pada dasarnya bisa dikerucutkan menjadi dua hal: block size Bitcoin dan distribusi kuasa dalam jaringan Bitcoin.
Kubu yang mendukung wacana ditingkatkannya block size Bitcoin percaya bahwa dengan menambah batas jumlah transaksi yang dapat divalidasi di dalam suatu blok, maka kapasitas transaksi jaringan secara menyeluruh juga dapat ditingkatkan.
Problemnya, menurut kubu yang kontra, adalah ikut meningkatnya ukuran data dalam jaringan secara menyeluruh, yang berarti para miner harus dibebani dengan daya komputasi yang lebih besar lagi. Di titik itu, para miner individual bakal kesulitan menambang secara efektif, dan kuasa dalam jaringan Bitcoin pun akan terpusat pada entitas-entitas besar yang menguasai industri mining.
Buntut dari perdebatannya, pada 1 Agustus 2017, jaringan blockchain Bitcoin pun terpecah menjadi dua: Bitcoin (BTC) dengan block size sebesar 1 MB dan Bitcoin Cash (BCH) dengan block size 8 MB.
Nilai tukar Bitcoin sendiri mulai berkembang begitu pesat kala itu. Pada 1 Januari 2017, nilai tukar Bitcoin berada di angka $998. Lompat ke 1 Januari 2018, nilai Bitcoin sudah menembus angka $13.000. Di titik ini, Bitcoin pada dasarnya mulai menunjukkan bahwa ia mempunyai volatilitas yang luar biasa, sebab hanya beberapa hari sebelumnya di 17 Desember 2017, nilai Bitcoin sempat menyentuh angka $19.783.
Sumber gambar: Forbes
Tahun 2018 sendiri pada akhirnya dikenal sebagai "The Great Crypto Crash". Ada beberapa faktor yang mendasari kekacauan pasar kripto dan anjloknya nilai Bitcoin kala itu. Salah satunya tren initial coin offering (ICO) yang meledak setahun sebelumnya. Terinspirasi kesuksesan ICO Ethereum di 2014, banyak perusahaan mulai menawarkan token kriptonya masing-masing ke publik di tahun 2017 sebagai metode alternatif untuk memperoleh pendanaan.
Sayangnya, lebih banyak kasus ICO yang bermasalah ketimbang yang berhasil, dan ini memicu penolakan dari berbagai pihak. Di akhir Januari 2018, Facebook memutuskan untuk melarang segala bentuk iklan yang mempromosikan ICO. Google dan Twitter menyusul tidak lama kemudian.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah regulasi yang ditetapkan sejumlah negara. Pada 22 Januari 2018, pemerintah Korea Selatan menetapkan aturan yang melarang transaksi Bitcoin secara anonim. Kemudian pada tanggal 1 Februari 2018, giliran Tiongkok yang sepenuhnya melarang perdagangan Bitcoin.
Di sepanjang paruh pertama 2018, nilai Bitcoin berfluktuasi antara $11.480 dan $5.848. Memasuki bulan Desember 2018, nilai Bitcoin sudah mendekati angka $4.000 dan terus turun sampai pergantian tahun.
2019 sendiri berlangsung cukup lamban bagi Bitcoin, namun dalam kurun waktu sekitar enam bulan, Bitcoin akhirnya berhasil menunjukkan bahwa ia masih merupakan mata uang digital yang paling berharga. Sebuah kado yang cukup spesial tapi agak terlambat buat perayaan satu dasawarsanya.
Pandemi COVID-19 dan sekuel crypto crash (2020-2022)
Di titik ini, narasi Bitcoin sebagai alat pembayaran alternatif sudah jarang digembar-gemborkan. Volatilitasnya yang luar biasa semakin memperkuat anggapan bahwa Bitcoin kurang cocok dijadikan pengganti mata uang tradisional. Fokus pasar pun jadi hampir sepenuhnya teralihkan ke nilai tukarnya.
Peran Bitcoin sebagai instrumen investasi kian menguat ketika pandemi COVID-19 datang melanda di awal 2020. Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi akibat kebijakan lockdown di sana-sini pada akhirnya memicu para investor untuk mengalihkan dananya ke Bitcoin — yang secara teori tidak akan terpengaruh dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bank sentral.
Bukan sembarang investor malah, melainkan perusahaan-perusahaan besar. Pada Agustus 2020, perusahaan asal Amerika Serikat MicroStrategy mengucurkan dana sebesar $250 juta untuk membeli Bitcoin sebagai aset cadangan. Kemudian di bulan Oktober 2020, giliran penyedia layanan pembayaran Square yang mengambil langkah serupa dan menukarkan 1% dari total asetnya ($50 juta) menjadi Bitcoin.
Masuk bulan November 2020, PayPal mengizinkan para penggunanya di Amerika Serikat untuk membeli dan menjual Bitcoin melalui platformnya. Pada 30 November 2020, Bitcoin mencetak rekor nilai tukar baru di angka $19.860, melampaui rekor sebelumnya dicatatkan pada Desember 2017.
2020 juga menjadi saksi atas momen penting dalam sejarah Bitcoin yang dikenal dengan istilah "Bitcoin Halving". Dari kacamata yang paling sederhana, Bitcoin Halving menandai pemotongan jumlah Bitcoin baru yang beredar setiap 10 menitnya. Dalam tahun-tahun pertamanya, ada 50 Bitcoin baru yang beredar setiap 10 menit. Namun setelah menjalani tiga kali Halving, jumlahnya pun turun menjadi 6,25 Bitcoin per 10 menit.
Sejak awal, Bitcoin memang sudah diprogram agar dapat mengaktifkan Halving setiap kali 210.000 blok tercipta (kurang lebih setiap 4 tahun), dengan tujuan untuk mempertahankan kelangkaan dan mencegah inflasi. Bitcoin Halving yang terakhir terjadi di tahun 2020, tepatnya pada tanggal 11 Mei ketika blok ke-630.000 tercipta.
Beralih ke 2021, periode ini dapat dilihat sebagai periode keemasan Bitcoin, dengan semakin banyaknya perusahaan yang memercayakannya sebagai aset investasi, sekaligus nilai tukarnya yang terus meningkat. MicroStrategy, yang sebelumnya bisa dibilang memulai tren investasi Bitcoin di kalangan perusahaan besar, mengumumkan pada 25 Januari 2021 bahwa mereka masih terus membeli Bitcoin, dan saat itu memegang sekitar 70.784 Bitcoin, setara $2,38 miliar.
Kemudian pada 8 Februari 2021, nilai tukar Bitcoin sempat menyentuh angka $44.000 lebih. Penyebabnya? Tesla pada hari itu mengumumkan bahwa mereka telah menggelontorkan dana sebesar $1,5 miliar untuk membeli Bitcoin, sekaligus mengumumkan rencana untuk menerima pembayaran dalam bentuk Bitcoin.
Lompat ke 7 September 2021, El Salvador resmi mendeklarasikan Bitcoin sebagai mata uang resmi di samping dolar Amerika, menjadikannya negara pertama yang mengambil langkah tersebut. Nilai tukar Bitcoin terus menguat kala itu, bahkan sempat menyentuh angka $66.000 pada tanggal 20 Oktober 2021.
Sumber gambar: Marketplace.org
Nilai Bitcoin yang sedang tinggi-tingginya ini turut didukung oleh peningkatan dari sisi teknis. Pada tanggal 12 November 2021, jaringan blockchain Bitcoin resmi menerima upgrade yang dikenal dengan nama Taproot. Ada banyak hal yang disempurnakan oleh Taproot, namun secara keseluruhan, upgrade ini bertujuan untuk membuat jaringan Bitcoin jadi lebih efisien, baik dari segi waktu pemrosesan maupun ongkos transaksi.
Sayang sekali masa keemasan Bitcoin itu tidak bertahan lama. Pasalnya, 2022 akhirnya bakal dikenal sebagai sekuel dari crypto crash yang pernah terjadi empat tahun sebelumnya. Di tahun 2022, kita melihat beberapa proyek kripto yang gagal total, yang kemudian memicu efek domino bagi proyek kripto lain, tidak terkecuali Bitcoin.
Pada bulan Mei 2022, dunia kripto digemparkan oleh kolapsnya proyek stablecoin Terra-Luna. Luna, yang sebelumnya sempat menduduki posisi 10 besar aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar, kehilangan nilainya sepenuhnya dalam kurun waktu sekitar satu minggu. Hampir semua aset kripto lain juga ikut terdampak, termasuk Bitcoin, yang nilainya sudah hampir mendekati angka $31.000 kala itu.
Situasinya semakin memburuk pada bulan Juni, ketika salah satu platform pinjaman kripto terbesar asal Amerika Serikat, Celsius, menyetop penarikan dana pengguna untuk sementara. Akibatnya, nilai tukar Bitcoin sempat merosot sampai di bawah $20.000. Celsius pada akhirnya dinyatakan bangkrut di bulan Juli.
Namun pukulan paling telak yang diterima Bitcoin dan pasar kripto secara luas datang pada bulan November 2022 dalam bentuk bangkrutnya salah satu bursa kripto terbesar di dunia, FTX. Nilai Bitcoin pun semakin anjlok sampai di bawah $16.000, pertama kalinya sejak November 2020.
Tentu saja ini bukan penanda bahwa kisah Bitcoin bakal tamat begitu saja. Terlepas dari fluktuasi harganya, jalan Bitcoin masih panjang. Momen Halving yang berikutnya baru akan berlangsung di tahun 2024, dan ini diperkirakan masih akan terus berlangsung sampai tahun 2140, tepatnya ketika Bitcoin yang ke-21.000.000 akhirnya berhasil ditambang dan beredar ke sirkulasi.
Gambar header: Michael Förtsch via Unsplash.
- Share to:
Recommended Content
Menangkan Riyadh Masters, Team Spirit Bawa Pulang Hadiah Senilai Rp75,4 Miliar
Bos ESA: Stereotipe Negatif akan Game Semakin Memudar
AI Bersaing dengan Manusia untuk Buat Cerita Fiksi
Pentingnya Etika Saat Mengembangkan dan Menggunakan Generative AI
Video
Kesimpulan Review ASUS Zenfone 10, Punya Kamera dan Performa Mumpuni
ASUS Zenfone 10 adalah smartphone flagship bertenaga chipset Snapdragon 8 Gen 2 dengan harga terjangkau. Varian ...
Performa Gahar ASUS Zenfone 10 dengan Snapdragon 8 Gen 2
Kamera 50MP OIS di ASUS Zenfone 10 yang Dapat Diandalkan
Layar Mini 5,9 Inci ASUS Zenfone 10 Apa Tidak Kekecilan?
Lebih Dekat dengan Desain Kotak Padat HP Flagship Mini ASUS Zenfone 10
Emang Boleh HP Flagship Layarnya Kecil? Review ASUS Zenfone 10
Review ASUS Zenfone 10, Flagship Mini dengan Kamera dan Performa Mumpuni
Rahasia Advanced Multitasking di Samsung Galaxy Z Fold5
Ini Kesimpulan Review Vivo Y36, Desain Menonjol Spesifikasi Biasa
Vivo Y36 Ditenagai Chipset Snapdragon 680 4G, Kenceng Tetapi...
© Copyright 2018-2023 Hybrid.co.id,
part of DailySocial.id